BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan humanistik diawali oleh munculnya gerakan
mahapeserta didik Gerakan yang
disampaikan itu merupakan resppon atas ketidakpuasan atas kompetisi, tekanan,
kehidupan yang selalu diawasi, dan ketidaksesuaian apa yang pelajari dengan apa
yang mereka amati ketika belajar di sekolah. Gerakan itu dipelopori oleh Neill,
John Holt, Jonathan Kozol, dan Paul Goodman.
Praktik pendidikan yng dilawan oleh para tokoh
gerakan itu adalah pendidikan di sekolah yang selalu diarahkan oleh pendidik
(direct instruction). Pendidikan yang diarahkan oleh pendidik itu mengutamakan
pada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan peserta didik. Dalam pendidikan
humanistik, fokus utamanya adalah hasil pendidikan bersifat afektif, belajar
tentang cara-cara belajar (learning how to learn), dan meningkatkan kretivitas
dan semua potensi peserta didik.
Abraham Maslow adalah tokoh gerakan
psikologi humanistik di Amerika. Rogers menyampaikan tiga unsur pokok pada diri
Inividu, yaitu (a) organisme, yakni orang secara penuh, (b) medan fenomena,
yakni totalitas pengalaman, dan (c) diri sendiri, yakni bagian dari medan yang
terdeferensiasi. Rogers menyatakan adanya diri sendiri yang ideal dan diri
sendiri yang nyata dimana orang itu akan berada. Kensenjangan antara keduanya
dapat menjadi stimulus belajar dan potensi perilaku yang memunculkan tekanan
tidak sehat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
akar perkembangan pendekatan humanistik?
2. Siapakah
tokoh pendidikan humanistik?
3. Bagaimana
pandangan humanistik dalam belajar?
4. Apa
saja prinsip-prinsip pendekatan humanistik?
C.
Tujuan
1. Menjelaskan
akar perkembangan pendekatan humanistik?
2. Menjelaskan
tokoh pendidikan humanistik?
3. Menjelaskan
pandangan humanistik dalam belajar?
4. Menjelaskan
prinsip-prinsip pendekatan humanistik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Akar
Gerakan Humanistik
Teori belajar dan pendidikan humanistik diawali oleh
munculnya gerakan mahapeserta didik
Gerakan yang disampaikan itu merupakan resppon atas ketidakpuasan atas
kompetisi, tekanan, kehidupan yang selalu diawasi, dan ketidaksesuaian apa yang
pelajari dengan apa yang mereka amati ketika belajar di sekolah. Gerakan itu
dipelopori oleh Neill, John Holt, Jonathan Kozol, dan Paul Goodman.
Dalam pendidikan humanistik, fokus utamanya adalah
hasil pendidikan yang bersifat afektif, belajar tentang cara-cara belajar
(learning how to learn), dan meningkatkan kreativitas dan semua potensi peserta
didik. Praktik pendidikan humanistik berkembang di Amerika Serikat 60an dan
mencapai puncaknya pada tahun 1990an dengan munculnya tokoh-tokoh psikologi
seperti Abraham Maslow dan Carls Rogers.
Hasil belajar dalam pandangan humanistik adalah
kemampuan peserta didik mengambil tanggung jawab dalam menentukan apa yang
dipelajari dan menjadi individu yang mampu mengarahkan diri sendiri (self
directing) dan mandiri (independent). Di samping itu pendekatan humanistik
memandang pentingnya penekanan pendidikan di bidang kreativitas, minat terhadap
seni, dan hasrat ingin tahu. Oleh karena itu pendekatan humanistik kurang
menekankan pada kurikulum standar, perencanaan pembelajaran, ujian, sertifikasi
pendidik, dan kewajiban hadir di sekolah.
Dalam praktik pembelajaran, pendekatan humanistik
mengkombinasikan metode pembelajaran indivdual dan kelompok kecil. Namun
pendekatan humanistik mempersyaratkkan perubahan status pendidik dari individu
yang lebih mengatahui dan terampil segala sesuatu menjadi individu yang
memiliki status kesetaraan dengan peserta didik. Pilihan materi pembelajaran
yang hendak digunakan dalam proses pembelajaran merupakan hak peserta didik
bukan pendidik. Pembelajaran merupakan wahana bagi peserta didik untuk
melakukan aktualisasi diri, sehingga pendidik harus membangun kecenderungan
tersebut dan mengorganisir kelas agar peserta didik melakukan kontak dengan
peristiwa-peristiwa yang bermakna.
Pendekatan
humanistik selalu memelihara kebebasan peserta didik untuk tumbuh dan melindungi
peserta didik dari tekanan keluarga dan masyarakat. Demikian juga hasil belajar
yanag berkaitan dengan perkembangan sosial emosional lebih penting dibandingkan
dengan hasil pendidikan yang bersifat akademik.
Rogers dan Daymond (Gage dan Berliner, 1994)
menyatakan bahwa prosedur terapeutik yang menghasilkan seseorang yang mampu
memandang diri sendiri secara berbeda, yakni menerima diri sendiri, perasaannya
sendiri, dan orang lain secara penuh. Pendidik yang berhasil menciptakan
suasana pendidikan seperti itu akan mampu mendorong peserta didik untuk
menampilkan perilaku yang memiliki karakteristik tersebut. Namun demikian hasil
belajar dalam pendekatan humanisik itu sukar dispesifikasi dalam bentuk
perilaku dan sukar diukur, sebab pendekatan humanistik kurang menekankan
pengetahuan dan ketrampilan, sebaliknya lebih menekankan pada hasil belajar
yang lebih bersifat personal.
B.
Pandangan
Abraham Maslow
Abraham Maslow adalah tokoh gerakan psikologi
humanistik di Amerika. Walaupun ia memperoleh pendidikan di kalangan
behavioristik, Maslow mampu mengembangkan pandangan yang komprehensif tentang
perilaku manusia. Kontribusi yang diberikan Maslow adalah motivasi, aktualisasi
diri, dan pengalaman puncak yang memiliki dampak terhadap kegiatan belajar.
Maslow menyampaikan teori motivasi manusia
berdasarkan pada hierarkhi kebutuhan. Kebutuhan pada tingkat paling rendah
adalah kebutuhan fisik (physiological needs), seperti rasa lapar dan haus, dan
harus dipenuhi sebelum individu dapat memenuhi kebutuhan akan rasa aman (safety
needs). Kebutuhan yang ketiga adalah kebutuhan menjadi milik dan dicintai
(sense of belongingness and love), kemudian kebutuhan penghargaan (esteem
needs), yakni merasa bermanfaat dan hidupnya berharga, dan akhirnya kebutuhan
aktualisasi diri (self actualization needs). Kebutuhan aktualisasi diri itu
termanifestasikan di dalam keinginan untuk memenuhi sendiri (self fulfillment),
untuk menjadi diri sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Individu yang beraktualisasi diri menampilkan
karakteristik sebagai berikut:
a. Berorientasi
secara relistik.
b. Menerima
diri sendiri, orang lain, dan dunia alamiah sebagaimana adanya.
c. Bersifat
spontan dalam berpikir, beremosi, dan berperilaku.
d. Terpusat
pada masalah (problem centered) dan bukan terpusat pada diri sendiri (self
centered).
e. Memiliki
kebutuhan privasi dan berupaya memperolehnya, jika memiliki kesempatan, serta
memerlukan waktu berkonsentrasi unutk memperoleh sesuatu yang menarik bagi
dirinya.
f. Bersifat
otonomi, independen, dan mampu mempertahankan kebenaran ketika menghadapi
perlawanan.
g. Kadang-kadang
memiliki pengalaman mistik yang tidak berkaitan dengan pengalaman keagamaan.
h. Merasa
sama denagn manusia secara keseluruhan berkenaan bukan saja dengan keluarga,
melainkan juga kesejahteraan dunia secara keseluruhan.
i.
Memiliki hubungan dekat dan secara
emosional denga orang-orang yang dicintai.
j.
Memiliki struktur karakter demokratis
berkenaan dengan penilaian individu dan mampu bersahabat bukan didasarkan ras,
status, agama.
k. Memiliki
etika yang berkembang terus.
l.
Memiliki selera humor tinggi.
m. Memiliki
selera kreativitas tinggi.
n. Menolak
keseragaman budaya.
Dalam pandangan Maslow, tujuan
pendidikan adalah aktualisasi diri atau membantu individu menjadi yang terbaik
sehingga mereka mampu menjadi yang terbaik. Pendidik hendaknya menjadikan
kegiatan belajar itu berasal dari dalam diri individu, yakni belajar berada
pada diri manusia pada umumnya dan kedua belajar menjadi manusia tertentu.
Maslow disebut sebagai bapak spiritual
psikologi humanistik di Anerika, juga bertanggungjawab dalam menyampaikan
pandangan manusia sebagai peserta didik aktualisasi diri (self actualizing
learner). Pandangan yang sama juga disampaikan ole Carl Rogers yang menyatakan
orang yang berfungsi secara penuh (fully functioning person).
C.
Pandangan
Carl Rogers
Dalam teori diri sendiri (self), Rogers
menyampaikan tiga unsur pokok pada diri Inividu, yaitu (a) organisme, yakni
orang secara penuh, (b) medan fenomena, yakni totalitas pengalaman, dan (c)
diri sendiri, yakni bagian dari medan yang terdeferensiasi. Rogers menyatakan
adanya diri sendiri yang ideal dan diri sendiri yang nyata dimana orang itu
akan berada. Kensenjangan antara keduanya dapat menjadi stimulus belajar dan
potensi perilaku yang memunculkan tekanan tidak sehat.
Rogers mendeskripsikan proses belajar
yang terdiri atas dorongan ke arah aktualisasi diri secara penuh. Ada kontinum
makna yang terdapat di dalam belajar yang berentangan dari hafalan yan tidak
ada artinya dan tidak bermakna sampai pada belajar eksperiental, bermakna, dan
signifikan. Rogers menggambarkan kualitas belajar eksperiental dalam
mengembangkan individu yang berfungsi secara penuh, sebagai berikut:
a.
Keterlibatan personal, yakni aspek-aspek
kognitif dan afektif individu harus terlibat di dalam peristiwa belajar.
b.
Prakarsa diri, yakni menemukan kebutuhan
yang berasal dari dalam diri.
c.
Pervasif, yakni belajar memiliki dampak
terhadap perilaku, sikap, atau kepribadian diri.
d.
Evaluasi diri, yakni individu dapat mengevaluasi
diri jika pengalamannya memenuhi kebutuhannya.
e.
Esensi adalah makna, yakni apabila
terjadi belajar eksperiental, maknanya menjadi terpadu dengan pengalamannya
secara total.
Rogers memperkenalkan pandangannya
tentang penggunaan proses kelompok untuk memperlancar kematangan emosi dan
psikologis. Kelompok, yakni kelompok pelatihan (Training Group) dan kelompok
kepekaan telah mencapai popularitas pada akhir tahun 1960an. Rogrs menyatakan
bahwa perubahan perilaku yang terjadi di dalam kelompok tidak harus berlangsung
lama. Individu mungkin terlibat secara mendalam di dalam mengungkapkan dirinya
sendiri dan kemudian meninggalkan berbagai masalah yang tidak terselesaikan.
Tekanan martal munkin muncul dan komplikasi mungkin berkembang berkenaan dengan
hubungan antar anggota kelompok. Di samping adanya kelemahan itu, proses
kelompok merupakan kekuatan untuk memanusiakan kembali hubungan manusia dan
membantu menghidupkan secara penuh di sini dan sekarang (here and now)
D.
Prinsip-Prinsip
Belajar
Ada beberapa asumsi yang mendasari
pendekatan humanistik dalam pendidikan. Pertama, peserta didik mempelajari apa
yang mereka butuhkan dan ingin diketahui. Kedua, belajar tentang cara-cara
belajar adalah lebih penting dibandingkan dengan memperoleh pengetahuan aktual.
Ketga, evaluasi yang dilakukan oleh peserta didik sendiri adalah sangat
bermanfaat dari pekerjaannya. Keempat, perasaan adalah sama pentingnya dengan
fakta, dan belajar belajar merasakan adalah sama pentingnya dengan belajar
cara-cara berpikir. Kelima, belajar akan terjadi apabila peserta didik tidak
merasakan adanya ancaman.
1.
Swa
Arah (Self Direction)
Prinsip swa arah menyatakan bahwa sekollah hendaknya
memberikan kepada peserta didik untuk memutuskan bahan belajar yang ingin
dipelajari. Bahan belajar yang ingin dipelajari peserta didik adalah yang
memenuhi kebutuan, keinginan, hasrat ingin tahu, dan fantasinya. Prinsip ini
lebih menekankan pada motivasi intrinsik, dorongan dari dari dalam untuk
bereksplorasi, dan hasrat hasrat ingin tahu yang timbul dari dalam diri.
Tugas
fasilitator di dalam mengarahkan peserta didik menjadi pembelajar swa arah
adalah sebaai berikut :
a. Mendorong
peserta didik untuk memenuhi kompetensi baru.
b. Membantu
memperjelas aspirasinya guna meningkatkan kompetensinya.
c. Memabntu
mendiagnosis kesenjangan antara aspirasi dengan kinerjanya sekarang.
d. Membantu
mengidentifikasi masalah kehidupan yang mereka alami.
e. Melibatkan
peserta didik dalam proses merumuskan tujuan belajar dengan mempertimbangkan
kebutuhan peserta didik yang telah didiagnosis.
2.
Belajar
tentang Cara-Cara Belajar (Learning How
to Learn)
Peserta
didik yang mengetahui cara-cara mempelajari bidang-bidang pengetahuan memiliki
harapan dalam memadukan belajar baru dengan belajar yang menantang mengenal
situasi yang terus berubah. Apabila peserta didik dihadapkan ada tantangan
baru, mereka akan mudah menyesuaikan diri.
Tugas
fasilitator dalam membantu peserta didik mengetahui cara-cara belajar adalah
sebagai berikut:
a. Memotivasi
peserta didik mempelajari tugas-tugas belajar yang telah dirancang bersama.
b. Membantu
merancabg pengalaman belajr, memilih bahan balajar, dan metode belajar, dan
melibatkan peserta didik dalam pembuatan keputusan bersama.
3.
Evaluasi
Diri (Self Evaluation)
Evaluasi diri merupakan prasyarat bagi perkembangan
kemandirian peserta didik. Evaluasi yang dilakukan oleh sekolah atau pendidik
yang diakhiri dengan kenaikan kelas dan kelulusan dipandang sebagai tindakan
yang mengganggu aktivitas belajar peserta didik. Demikian pula instrumen
evaluasi yang diwujudkan dalam bentuk tes dipandang tidak relevan dengan
pendekatan humanistik. Terlebih tes yang disusun dalam bentuk tes obyaktif yang
memiliki karakteristik jawaban yang benar adalah satu. Dalam pendekatan
humanistik, peserta didik tidak dievaluasi dengan cara membandingkan dengan
peserta lain atau dengan standar yang ditetapkan oleh pendidik, melainkan
sebaliknya dievaluasi dengan menggunakan standar peserta didik itu sendiri,
tanpa ada grading (seperti pemberian nilai A, B, dan sejenisnya). Untuk
merealisasikan prinsip evaluasi diri itu pendidik dan peserta didik hendaknya
bertemu secara reguler untuk melaksanakan perencanaan pembelajaran dan kontrak
kegiatan belajar. Dalam pertemuan itu, mereka bersama-sama merumuskan kriteria
untuk digunakan dalam evaluasi, dan peserta didik memiliki kesempatan untuk
melaksanakan dan mengevaluasi diri.
Tugas
fasilitator di dalam kegiatan evaluasi diri pada peserta didik adalah sebagai
berikut:
a. Melibatkan
peserta didik dalam mengembangkan kriteria kinerja, dan metode dalam mengukur
kemajuan tujuan belajarnya.
b. Membantu
mengembangkan dan menerapkan prosedur evaluasi kemajuan belajar.
4.
Pentingnya
Perasaan (Important of Feelings)
Pendekatan
hummanstik tidak membedakan domain kognitif dan afektif dalam belajar. Dalam
arti kedua domain itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Dari sudut pandang pendekatan humanisti, belajar merupakan
kegiatan memperoleh informasi atau pengalaman baru, dan secara personal peserta
didik menemukan makna akan informasi atau pengalaman baru tersebut. Secara
spesifik, para pakar humanistik merekomendasikan bahwa pendidik dalam
melaksanakan pembelajaran hendaknya menekankan nilai-nilai kerjasama saling
menghormati dan kejujuran, baik pada waktu membuat contoh dan pada waktu
mendiskusikan serta memperkuat nilai-nilai yang dipelajari oleh peserta didik.
Tugas
fasilitator di dalam mengembangkan perasaan positif peserta didik terhadap
pembelajaran adalah sebaga berikut:
a. Membantu
peserta didik menggunakan pengalamannya sendiri sebagai sumber belajar dengan
menggunakan pengalamannya sendiri sebagai sumber belajar dengan menggunakan
teknik seperti diskusi, permanan peran, studi kasusu, dan sejenisnya.
b. Menyampaikan
isi pembelajaran berdasarkan sumber-sumber belajar yang sesuai dengan tingkat
pengalaman peserta didik.
c. Membantu
menerapkan hasil belajar ke dalam dunia nyata (transfer of learning). Hal ini
akan membuat belajar lebih bermakna dan terpadu.
5.
Bebas
dari Ancaman (Freedom of Threat)
Belajar
akan lebih mudah, lebih bermakna dan lebih diperkuat apabila belajar itu
terjadi dalam suasana bebas dari ancaman. Kegiatan belajr yang dipandang
membebaskan peserta didik dari ancaman adalah pembelajaran yang diwarnai oleh
suasana demokratis secara bertanggungjawab. Sebaliknya, kegiatan belajar yang
diwarnai dengan berbagai ancaman, peserta didik akan merasa gagal sebelum
melaksanakan kegiatan belajar, dan peserta didik yang merasa gagal itu pada
akhirnya tidak akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Tugas
fasilitator dalam menciptakan iklim belajar yang bebas dari ancaman adalah
sebagai berikut:
a. Menciptakan
kondisi fisik yang menyenangkan, seperti tempat duduk, ventilasi, lampu, dan
kondusif untuk terciptanya interaksi antar peserta didik.
b. Memandang
bahwa setiap peserta didik merupakan pribadi yang bermanfaat, dan menghormati
perasaan dan gagasan-gagasannya.
c. Membangun
hubungan saling membantu antar peserta didik dengan mengembangkan
kegiatan-kegiatan yang ersifat kooperatif an mencegah adanya persaingan dan
saling memberikan penilaian.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Hasil
belajar dalam pandangan humanistik adalah kemampuan peserta didik mengambil
tanggung jawab dalam menentukan apa yang dipelajari dan menjadi individu yang
mampu mengarahkan diri sendiri (self directing) dan mandiri (independent). Di
samping itu pendekatan humanistik memandang pentingnya penekanan pendidikan di
bidang kreativitas, minat terhadap seni, dan hasrat ingin tahu. Oleh karena itu
pendekatan humanistik kurang menekankan pada kurikulum standar, perencanaan
pembelajaran, ujian, sertifikasi pendidik, dan kewajiban hadir di sekolah.
Penggunaan metode humanistic dalam pendidikan akan
memungkinkan peserta didik menjadi individu beraktualisasi diri. Proses
kelompok merupakan kekuatan untuk memanusiakan kembali hubungan manusia dan
membantu menghidupkan secara penuh di sini dan sekarang (here and now)