Gerakan
pengelolaan lingkungan yang dilakukan Pusdakota dengan Warga RW 14 Rungkut
Lor Surabaya sejak tahun 2000, di samping menginspirasi berbagai pihak juga
mempertemukan kami, Pusdakota dengan Pemerintah Kitakyusu Jepang dan
Kitakyusu International Techno-cooperation Association (KITA).
Tahun 2005, Pusdakota menjalin kerjasama dengan Pemerintah Kota Surabaya,
KITA, Pemerintah Kitakyusu Jepang, di bidang riset teknologi dan
pengorganisasian masyarakat.
Untuk kerjasama di bidang teknologi, kesepakatannya adalah optimalisasi
teknik-teknik pengelolaan sampah yang telah dilakukan Pusdakota bersama
komunitas dan optimalisasi metode-meode pengelolaan sampah yang sudah
berkembang di Surabaya dengan segenap potensi yang tersedia.
Dengan riset itu Pusdakota berharap, Indonesia akan punya banyak alternatif
metode untuk menangani sampah. Teknologi tersebut kami harapkan bisa
diterapkan siapa pun dengan bahan baku yang mudah dan murah. Yang lebih
mendasar adalah, teknologi ini diharapkan mampu memberi inspirasi tentang
keterjagaan diri untuk senantiasa memberikan yang terbaik bagi lingkungan
sekitar. Bukankah teknologi haruslah dimaknai lebih dari sekadar sebagai alat
bantu, namun sarana kita untuk menempuh tujuan maknawi?
Penemuan Keranjang Takakura adalah citra semangat dan kerja keras kami
terhadap pengelolaan sampah. Kami melakukan penelitian puluhan keranjang
untuk membuat perbandingan formulasi yang paling efektif dalam mereduksi
sampah, dengan puluhan kolom yang harus diisi setiap satu jam sekali selama dua
bulan. Belum lagi kami harus menentukan pilihan metode yang paling sesuai
sampai tiga kali.
Keranjang Takakura memang belum final dan bukan yang terbaik. Maka kami
terbuka terhadap inovasi-inovasi untuk selalu menemukan yang lebih baik.
Penemuan atas Keranjang Takakura saat itu tidak langsung kami sampaikan
kepada masyarakat sebelum kami benar-benar menemukan kelayakannya, antara
lain lewat praktik-praktik yang kami lakukan. Semua keluarga staf Pusdakota
disiplin memakai dan merawat hasil kerja keras itu untuk semakin memberi
penyempurnaan. Proses awal, pengolahan, perawatan, pematangan, pemanenan,
hingga kemanfaatan hasil keranjang sakti akhirnya kami sepakati berdasarkan
lesson learned kami.
Kenapa unit komposter ini dinamakan Takakura? Pakar Kompos Koji Takakura
sangat berjasa atas penemuan teknologi ini. Sangat pantas bila Takakura
dijadikan nama bagi keranjang pengomposan itu. Takakura – juga Tetsuya Ishida
dari KITA -- pernah mengada bersama bahu-membahu bersama demi perbaikan
lingkungan hidup.
Hak Paten
Saat kami berproses menemukan Keranjang Takakura bersama pihak Jepang, kami
pun memprediksi bahwa suatu saat unit komposter ini akan menarik minat banyak
orang. Tentu secara alami akan muncul persepsi sederhana dan manusiawi,
kebanyakan orang sekarang tidak mau repot menciptakan sesuatu.. Kita terbiasa
dengan budaya instan. Sementara Pusdakota bukan lembaga profit oriented yang
mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya untuk kepentingan organisasi. Kami pun
tidak ingin keranjang sakti ini nantinya dikomersialisasikan demi keuntungan
indivisu, kelompok atau lembaga tertentu.
Kami pun menemukan salah satu alternatif solusi yaitu HAKI. Untuk satu
keputusan mematenkan produk ini pun kami berdebat panjang. Salah satunya
adalah anggapan bahwa HAKI adalah produk kapitalisme.
Tapi toh memang produk ini hasil karya dan kerja keras kami. Dan kami
diingatkan kembali oleh visi lembaga kami bahwa kami berdiri hanya untuk
menjadi jembatan bagi siapa pun menuju masyarakat berdaya dan berkeadilan.
Kami ingin melipatgandakan energi sosial masyarakat. Itu menjadi alasan kami
mematenkan Keranjang Takakura.
Singkatnya, HAKI akan memperkecil kemungkinan pihak-pihak yang ingin mencari
keuntungan materi bagi diri atau kelompok. Yang kedua, agar tidak terjadi
kesalahan prinsipil terhadap penyediaan Keranjang Takakura. Soalnya, jika
terjadi kegagalan, komplinnya pasti ditujukan kepada kami.
Selanjutnya adalah hal yang berkait dengan mekanisme kontrol publik yang
transparan dan akuntabel terhadap penggunaan Keranjang Takakura. Kami ingin
ada ukuran yang pasti tentang tingkat partisipasi masyarakat dalam mereduksi
sampah, setidaknya lewat keranjang ini. Kami punya nomor register. Berapa
buah keranjang ini beredar di masyarakat, kami memiliki datanya.
Pusdakota mengajukan permohonan untuk memperoleh HAKI pada 20 April 2006.
Tahap pemeriksaan formalitas telah terpenuhi dengan turunnya surat bernomor
H3.HC.02.Pol.012/1173, tertanggal 29 Maret 2006.
Sesungguhnya kami membuka diri bagi siapa pun yang ingin menyediakan atau
memproduksi Keranjang Takakura, namun syaratnya, sistem monitoring dan
karakteristik komponen di dalamnya memiliki fungsi dan kualitas yang sama
atau lebih baik dengan Takakura Home Method. Beberapa jaringan kami di
tingkat komunitas telah kami latih untuk melakukannya, sesuai dengan standar
tersebut. Peran komunitaslah yang nantinya muncul, bukan peran individu atau
golongan.
Ini juga merupakan media pembelajaran agar warga dapat menjalankan mekanisme
pengelolaan sampah di wilayahnya secara mandiri. Intinya, dari waktu ke waktu
besarnya partisipasi pengelolaan sampah seiring dengan meningkatnya jumlah
Keranjang Takakura yang tersebar, signifikan mereduksi sampah organik yang
dibuat ke TPS.
Jika sistem dijalankan dengan disiplin hasilnya pasti bagus. Alangkah indahnya
bila komunitas dan kader-kader pengelola, secara rutin, mungkin pada hari
lingkungan, bersamaan menyampaikan perkembangan pengelolaan sampah, kualitas
dan kuantitasnya.Ini memudahkan kota untuk membuat langkah strategis dalam
pengelolaan sampah pada masa mendatang. Bukankah kita telah sepakat bahwa
sampah tidak dapat diatasi oleh satu pihak saja?
Untuk Keranjang Takakura, kami juga selalu membuka diri untuk pembelajaran
baru. Beberapa kali teman-teman dari perguruan tinggi, bahkan siswa SMP menginovasi
atau menyempurnakan Keranjang Takakura. Kami berterima kasih pada keluarga
besar UNESA, ITB, UNNIBRAW, UPN, ITS, UBAYA dan NGO’s di Bali, Semarang,
Tulung Agung, Semarang, Keluarga Mantan Menteri Kehutanan Jamaludin
Soeryohadikusumo, PKK Kodya Surabaya dan banyak komunitas lain yang tak
mungkin kami sebutkan satu persatu.. * broto
|