BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Paradigma
baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang
memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa aktif dalam mencari,
mengembangkan dan mengkontruksi secara aktif pengetahuan yang didapatkan. Hal
ini sesuai dengan salah satu tujuan pembelajaran matematika dalam KTSP yaitu
mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan
dengan mengembangkan pemikiran divergen orisinil, rasa ingin tahu, membuat
prediksi, dan dugaan serta mencoba-coba (Depdiknas, 2006)
National
Council of Teachers of Matematics atau NCTM (2000) menyatakan bahwa dalam
mempelajari matematika peserta didik tidak hanya bergantung pada apa yang
diajarkan, tetapi juga bagaimana matematika itu diajarkan, atau bagaimana
peserta didik belajar dalam pembelajaran. Pada dasarnya pembelajaran merupakan
proses interaksi, komunkasi, dan negosiasi antara guru an peserta didik. Proses
komunikasi yang terjadi tidak selamanya berjalan dengan lancer bahkan proses komunikas
dapat menimbulkan salah pengertian ataupun slah konsep. Untuk itu, guru
diharapkan mampu memberikan alternative pembelajaran bagi peserta ddik agar
dapat memahami konsep-konsep yang telah diberikan (Wahono,2007)
Tidak
bisa dipungkiri bahwa teor pembelajaran yang diterapkan oleh guru akan
berpengaruh terhadap keberhasilan guru dan siswa dalam pembelajaran. Hal ini
tentu harus dsesuaikan dengan memperhatikan karakteristik siswa itu sendiri
termasuk materi yang diajarkan. Sejauh ini kita telah mengenal teori dalam
pembelajaran slah satunya adalah teori behavoristik.
Jika
ditinaju dari konsep dan teori, teori behavioristik ini tentu berbeda dengan
teori yang lain. Hal ini bisa kita lihat dalam pembelajaran sehari-hari
dikelas. Teori behavorisme memandang bahwa belajar adalah mengubah tingkah laku
siswa dari tidak bisa menjadi bias, tidak mengerti menjadi mengerti, dan tugas
guru adalah mengontrol stimulus dan lingkungan belajar agar perubahan mendekati
tujuan yang diiinginkan, dan guru pemberi hadiah siswa yang telah mampu
memperlihatkan perubahan bermakna sedangkan hukuman diberikan kepada siswa yang
tidak mampu memperlihatkan perubahan makna.
Jika
dilihat secara sepintas teori behaviorisme ini tentu salng berhubungan dengan
teori yang lain. Untuk memberikan pemahaman yang jelas, melalui makalah ini
penulis akan mengkaji dan menelaah lebih jauh tentang pengertan teori
behaviorisme, keunggulan dan kekurangan behavorisme, aplikasi teori
behaviorisme, dan teori behavorisme dalam mewujudkan tujuan belajar dan
pembelajaran yang sesungguhnya. Melalui makalah ini diharapkan tdak lag muncul asumsi yang keliru
tentang pendekatan behavorisme tersebut, sehingga pembaca memang benar benar
mengerti apa dan bagaimana teori behavioritik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
pandangan behavorisme tentang belajar?
2. Bagaimanakah
penjelasan teoribelajar classical conditioning?
3. Bagaimanakah
penjelasan teori belajar koneksionisme?
4. Bagaimanakah
penjelasan teori belajar operant conditioning?
5.
Bagaimanakah penjelasan
teori belajar conditioning?
6. Bagaimanakah
penjelasan teori belajar modeling dan observational learning?
7. Bagaimanakah
penjelasan teori belajar modifkasi perilaku kognitif
8. apakah
yang termasuk prinsip-prinsip belajar?
C.
Tujuan
1. Menjelaskan
pandangan behavorisme tentang belajar.
2. Menjelaskan
penjelasan teoribelajar classical conditioning.
3. Menjelaskan
penjelasan teori belajar koneksionisme.
4. Menjelaskan
penjelasan teori belajar operant conditioning.
5.
Menjelaskan penjelasan
teori belajar conditioning.
6. Menjelaskan
penjelasan teori belajar modeling dan observational learning.
7. Menjelaskan
penjelasan teori belajar modifkasi perilaku kognitif.
8. Menjelaskan
yang termasuk prinsip-prinsip belajar.
BAB
II
PEMBAHASAN
TEORI
BELAJAR BEHAVIORISTIK
A. Pandangan
tentang Belajar
Skinner
(1958) menyatakan bahwa belajar merupakan proses perubahan perilaku. Perubahan
perilaku yang dimaksud dapat berwujud perilaku yang tampak (overt behavior) atau perilaku yang tidak
tampak (inert behavior).
a. Perilaku
yang tampak, misalnya : menulis, memukul, menendang
b. Perilaku
yang tidak tampak misalnya : berfikir, bernalar, dan berkhayal.
Perubahan
perilaku yang diperoleh dari hasil
belajar bersifat permanen, dalam arti bahwa perubahan perilaku akan bertahan
dalam relatif lama, sehingga pada suatu waktu perilaku tersebut dapat
dipergunakan untuk merespon stimulus yang sama atau hampir sama.
Namun demikian
tidak semua perubahan perilaku merupakan perwujudan dari hasil belajar, karena
terdapat perubahan perilaku yang tidak disebabkan oleh kegiatan belajar. Misalnya
seseorang menarik jarinya secara reflektif, karena jari tersebut terkena api.
Ada pula perubahan yang disebabkan faktor kematangan, misalnya seorang anak
kecil umur 9 bulan dapat berjalan karena telah mencapai kematangan untuk
berjalan.
Aspek penting
yang dikemukakan oleh aliran Behavioristik dalam belajar adalah bahwa hasil
belajar (perubahan perilaku) itu tidak disebabkan oleh kemampuan internal
manusia (insight), tetapi karena
faktor stimulus yang menimbulkan stimulus. Untuk itu, agar aktivitas belajar di
kelas dapat mencapai hasil belajar yang optimal, maka stimulus harus dirancang
sedemikian rupa (menarik dan spesifik) sehingga mudah direspons oleh siswa. Oleh
karena itu siswa akan memperoleh hasil belajar, apabila dapat mencari hubungan
antara stimulus (S) dan respons (R) tersebut.
Proses belajar
pada diri individu dapat terjadi dengan berbagai cara. Kadang proses belajar
tersebut dilakukan secara sengaja, sebagaimana siswa memperoleh informasi yang
disajikan guru di dalam kelas. Kadang proses belajar itu juga dilakukan secara
tidak sengaja, sebagaimana reaksi anak ketika melihat jarum suntik. Namun
demikian aktivitas belajar manusia akan berlangsung terus menerus sepanjang
waktu, setiap kali manusia berinteraksi dengan lingkungan (stimulus) dan
manusia akan mereaksinya (memberikan respon).
B. Teori
Belajar Classical Conditioning
Teori
belajar classical conditioning dikembangkan oleh Ivan Parlov seorang psikolog
Rusia. Menurut Parlov, apabila anjing mengeluarkan air liur karena melihat
makanan, respons ini bersifat alamiah (alami). Disebut respons alamiah karena
respons itu tidak terkondisi (unconditioned
response) dan stimulusnya juga disebut stimulus alamiah.
Untuk menimbulkan respons berkondisi
ditempuh dengan jalan memberikan stimulus berkondisi berbarengan atau sebelum
diberikan stimulus alamiah. Pemberian stimulus-stimulus tersebut dilakukan
berulang kali, sehingga pada akhirnya akan terbentuk respons berkondisi (anjing
mengeluarkan air liur), sekalipun tidak diberikan stimulus alamiah (makanan)
Pada akhir
percobaan (akhir pengkondisian) penyajian stimulus berkondisi (bunyi bel)
ternyata menghasilkan respons berkondisi (mengeluarkan air liur). Dalam hal ini
stimulus berkondisi (bunyi bel) tidak disajikan secara bersamaan dengan
stimulus alamiah (daging).
Dari ketiga
tahapan eksperimen tersebut dapat dijelaskan bahwa :
1. Apabila
stimulus alamiah (daging) disajikan di hadapan anjing, maka anjing akan
membentuk respons alamiah (mengeluarkan air liur)
2. Apabila
stimulus berkondisi (bel) diberikan setelah diberikan stimulus alamiah, maka
respons berkondisi tidak akan terbentuk, dan
3. Repons
berkondisi akan terbentuk apabila stimulus berkondisi diberikan sebelum atau
berbarengan dengan stimulus alamiah.
Di
dalam eksperimen itu juga dapat dijelaskan bahwa apabila di dalam diri anjing
telah terbentuk CR terhadap CS, maka stimulus yang mirip dengan CS juga akan
menimbulkan CR. Hal ini terjadi karena adanya kemiripan CS baru dengan CS lama
yang menimbulkan CR. Peristiwa ini disebut dengan prinsip generalisasi (generalization). Misalnya suara bel
diganti dengan suara sirine, anjing akan tetap mengeluarkan air liur.
Kemudian
apabila penyajian CS dilakukan secara berulang tanpa diikuti oleh penyajian UCS
(tidak diberi penguatan), maka CR semakin lama semakin hilang.peristiwa ini
disebut dengan kepunahan (extinction).
Misalnya setiap kali dibunyikan bel dan tanpa disertai pemberian makanan, maka
anjing tidak mengeluarkan air liur.
Parlov
melanjutkan eksperimen dengan menyajikan stimulus bervariasi. Parlov
menggunakan dua macam lampu dalam melakukan eksperimen, yaitu lampu bewarna
merah disertai dengan pemberian makanan sebagai stimulus alamiah (sebagai
penguatan), dan lampu hijau tidak disertai dengan pemberian makanan. Dari
eksperimen tersebut terbukti bahwa anjing akan mengeluarkan air liur apabila
melihat lampu merah sekalipun tidak diberikan makanan karena sudah terbentuk
respons kondisi (CR). Sebaliknya ketika melihat hijau dinyalakan, anjing tidak
mengeluarkan air liur karena berdasarkan pengalaman yang diperoleh, munculnya
lampu hijau ternyata tidak diberi makanan.
Dari
eksperimen tersebut, Parlov menarik kesimpulan yang kemudian dijadikan sebagai
prinsip belajar, yaitu dalam diri anjing akan terjadi pengkondisian selektif
berdasar atas penguatan selektif. Dalam arti, anjing dapat membedakan stimulus
yang disertai dengan penguatan dan stimulus yang tidak disertai dengan
penguatan.
C. Teori Operant
Conditioning
Teori
operant conditioning dikembangkan oleh Burr Federick Skinner (1904-1990).
Skinner memandang manusia sebagai mesin. Dalam mengkaji tentang belajar Skinner
memiliki pandangan berbeda dengan Pavlov. Pavlov mempelajari tentang classical conditioning yang berkaitan dengan gerak refleks, sedangkan Skinner
mempelajari gerak non refleks atau perilaku yang disengaja. Skinner mengadakan
eksperimen dikenal dengan Skinner-box dengan menggunakan kotak yang didalamnya
terdapat: 1). Pengungkit, 2). Penampung makanan, 3). Lampu yang dapat
dinyalakan dan dimatikan sesuai dengan kehendak peneliti, dan 4). Lantai dengan
gril yang dialiri listrik.
Dalam
melakukan eksperimen, Skinner menggunakan tikus lapar sebagai hewan percobaan.
Diasumsikan bahwa tikus yang sedang lapar memiliki dorongan untuk mencari
makanan. Sebagai panduan dalam pengamatan, tikus dimasukkan dalam kotak
percobaan dan tidak diberikan makanan. Kemudian didalam box itu diberikan
makanan yang dihubungkan dengan tuas atau tombol alat pemberi makanan. Apabila
tombol ditekan maka akan keluar makanan (penguatan positif). Oleh karena itu,
setiap kali tikus menekan tombol, dia akan mendapatkan makanan. Sebagai
akibatnya, jumlah penekanan terhadap tombol semakin meningkat agar tikus selalu
memperoleh makanan. Kemudian alat pemberi makanan itu diputuskan hubungannya
dan ternyata tikus tetap memencet tombol dalam waktu yang cukup lama (tikus
mengalami operant conditioning).
Berdasarkan
pada eksperimen tersebut Skinner mengemukakan dua prinsip umum yang berkaitan
dengan operant conditioning, yaitu:
1. Setiap
respon yang diikuti oleh penguatan (reward atau reinforcing stimuli) cenderung
akan diulang kembali.
2. Reward
atau reinforcing stimuli akan meningkatkan kecepatan terjadinya respons.
Skinner
membagi dua macam pengkondisian, yaitu:
a. Respondent
conditioning (conditioning tipe S).
disebut conditioning tipe S karena conditioning ini menekankan pentingnya
stimulus (S) dalam menimbulkan respons yang dikehendaki atau diinginkan.
Conditioning ini sama dengan classical
conditioning dari Pavlov.
b. Operant
conditioning (conditioning tipe R).
disebut conditioning tipe R, karena conditioning ini menekankan pentingnya
respon.
Tekanan
utama dalam teori operant conditioning adalah pada respon atau
perilaku dan konsekuensi yang menyertai. Oleh karena itu, seseorang harus
membuat respon sedemikian rupa untuk memperoleh penguatan atau hadiah yang
menjadi stimulus yang memperkuat (reinforcement stimuli). Misalnya, siswa yang
memiliki semangat dan akan belajar dengan lebih baik apabila mengetahui akan
mendapatkan hasil yang baik. Hasil yang baik ini merupakan balikan yang
menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya.
Searah
dengan dua jenis perilaku tersebut, Skinner membedakan dua macam pengkondisian,
yaitu:
a) Pada
classical conditioning, individu tidak perlu membuat respon atau aktivitas
dalam memperoleh hadiah, sebab tinggal menunggu dari orang lain, dan
b) Pada
operant conditioning, organisme harus membuat respon atau aktivitas dalam
memperoleh hadiah.
D.
Modeling dan Observational Learning
Menurut
Bandura, teori belajar operant conditioning yang dikembangkan oleh
Skinner menekankan pada efek dari konsekuensi perilaku, dan tidak memandang
pentingnya modeling, yakni meniru perilakun orang laindan pengalaman yang
dialami oleh orang lain, atau meniru keberhasilan atau kegagalan dari orang
lain. Bandura mengembangkan empat tahap melalui pengamatan atau modeling,
yaitu:
1. Tahap
perhatian. Dalam tahap ini individu
memperhatikan model yang menarik, berhasil, atraktif dan popular.
2. Tahap
retensi. Dalam tahap ini, apabila
guru telah memperoleh perhatian dari siswa, guru memodelkan perilaku yang akan
ditiru oleh siswa dan member kesempatan kepada siswa untuk mempraktikannya atau
mengulangi model yang telah ditampilkan.
3. Tahap
reproduksi. Dalam tahap ini, siswa
mencoba menyesuaikan diri dengan perilaku model.
4. Tahap
motivasional. Dalam tahap ini, siswa
akan menirukan model karena merasakan bahwa melakukan pekerjaan yang baik akan
meningkatkan kesempatan untuk memperoleh penguatan.
Konsep
penting lainnya dari teori belajar melalui pengamatan dan modeling adalah
pengaturan diri (self-regulation). Dalam kegiatan belajar ini
individu mengamati perilakunya sendiri, menilai perilakunya sendiri dengan
standar yang dibuat sendiri, dan memperkuat atau menghukum diri sendiri apabila
berhasil ataupun gagal dalam berperilaku.
E.
Teori Koneksionisme
Edward Thorndike mengembangkan teori
koneksionisme di Amerika Serikat (1874-1949)dalam melakukan eksperimennya,
Thorndike menggunakan kucing sebagai binatang coba. Dalam eksperimen tersebut,
Thorndike menghitung waktu yang dibutuhkan oleh kucing untuk dapat keluar dari
kandang percobaan (puzzle box).
Menurut Thorndike, koneksi (connection) merupakan asosiasi antara
kesan-kesan penginderaan dengan dorongan untuk bertindak, yakni upaya untuk
menggabungkan antara kejadian penginderaan dengan perilaku. Dalam hal ini
Thorndike menitik beratkan pada aspek fungsional dari perilaku, yaitu bahwa
proses mental dan perilaku organism berkaitan dengan penyesuaian diri terhadap
lingkungannya. Menurut Thorndike, dasar dari belajar adalah trial and error. Ia
memperoleh kesimpulan ini berdasarkan eksperimen yang dilakukan dengan
menggunakan bermacam-macam hewan percobaan.
Dalam memecahkan maslah (keluar
dari kandang), ternyata kucing melakukan secara sedikit demi sedikit dan tidak
secara mendadak. Ini menunjukkan bahwa kucing dalam memecahkan masalah yang
dhadapinya tidak menggunakan pemahaman (insight), karena tidak adanya pemecahan
maslah secara mendadak. Thorndike memperhatikan waktu yang digunakan kucing
dalam memecahkan masalah, yakni keluar dari kandang. Kucing itu berusaha keluar
dari kandangnya melalui usaha coba-coba. Berdasarkan hasil pengamatan
menunjukan bahwa waktu yang digunakan oleh kucing untuk keluar dari kandangnya
ternyata semakin lama semakin berkurang. Oelh karena itu semakin banyak waktu
atau kesempatan yang dimilik kucing, maka
akan semakin cepat pula kucing itu dalam menyelesaikan maslah.
Adanya waktu yang digunakan oleh
kucing percobaan dalam memecahkan masalah ternyata berangsur-angsur semakin
menurun atau berkurang, Thorndike akhirnya menyimpulkan bahwa kegiatan belajar
pada dasarnya adalah bersifat trial and error. Kemudian kemajuan yang diperoleh
dalam belajar adalah sedikit demi sedikit dan bukan dalam bentuk lompatan.
Belajar pada semua hewan menyusui (termasuk manusia) mengikuti hukum yang sama, yakni bersifat
trial dan error. Diakui oleh Thorndike, bahwa belajar pada manusia lebih
bersifat kompleks, namun demikian tidaklah mungkin menerangkan proses belajar
tersebut dengan meningkalkan hukum hukum belajar yang sama.
Berdasarkan pada percobaan yang
telah dilakukan, Thorndike pada akhirnya mengemukakan tiga macam hukum belajar,
yaitu: (a) hukum kesiapan, (b) hukum latihan dan (c) hukum akibat.
1. Hukum
kesiapan (the law of readiness)
Agar
proses belajar mencapai hasil yang baik, maka diperlukan adanya kesiapan
individu dalam belajar. Ada tiga keadaan yang menunjukkan berlakunya hukum ini,
yaitu :
a. Apabila
individu memiliki kesiapan untuk bertindak atau berperilaku, dan dapat
melaksanakannya, maka dia akan mengalami kepuasan.
b. Apabila
individu memiliki kesiapan untuk bertindak atau berperilaku, tetapi tidak
melaksanakannya maka dia akan merasa kecewa.
c. Apabila
individu tidak memiliki kesiapan untuk bertindak dan atau berperilaku, dan
dipaksa untuk melakukannya, maka akan menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan.
Apabila individu dpaat melakukan sesuatu sesuai
dengan kesiapan diri, maka dia akan memperoleh kepuasan, dan jika terdapat
hambatan dalam pencapaian tujuan, maka akan menimbulkan kekecewaan. Memaksa
seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki cenderung akan akan
menimbulkan kekecewaan bahkan frustasi. Sesuatu yang menyenangkan adalah
sesuatu yang yang tidak ditolak oleh seseorang dan keadaan yang tidak
menyenangkan atau ditolak itu merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh
setiap orang.
2. Hukum
latihan (the law of exercise)
Hubungan
atau koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi kuat apabila sering
dilakukan latihan. Dengan kata lain bahwa hubungan antara stimulus dan respon
itu akan menjadi lebh baik., kalau dilatih. Sebaliknya, apabila tidak ada
latihan, maka hubungan antara stimulus dan respon menjadi lemah. Makna menjadi
kuat atau menjadi lemah itu menunjukkan probabilitas respon yang semakin tinggi
apabila stimulus itu timbul kembali. Oleh karena itu hukum latihan ini
memerlukan tindakan belajar sambil bekerja (lerning by doing)
3. Hukum
akibat ( the law of effect)
Apabila
sesuatu memberikan hasil yang menyenagkan atau memuaskan, maka hubungan antara
stimulus dan respon akan menjadi semakin kuat. Sebaliknya bila hasilnya
tidakmenyenangkan, maka kekuatan hubungan antara stimulus dan respon akan
menjadi menurun. Dengan kata lain, apabila stimulus menimbulkan respon yang
membawa hadiah (reward), maka hubungan
S-R akan menjadi kuat demkian pula sebaliknya.
Disamping ketiga hukum tersebut,
Thorndike mengemukakan tiga hukum lain yang bersifat sekunder , yaitu (1) multiple respone, yakni individu dalam
menghadapi maslah akan mencoba berbagai respon s untuk mendapatkan respon yang
tepat. Melalui tindakan yang bersifat trial and error, pada akhirnya individu
mendapatkan respon yang tepat. (2) set atau attitude, yakni kesiapan atau
kecenderungan individu berperilaku tertentu. Dalam hal ini seseorang yang
sedang belajar perlu memperhatikan kompleksitas lingkungan, karena dia
akanmemberikan respon tertentu terhadap suatu stimulus atau lingkungan. (3)
associative shifting, yakni setiap respon yang telah dimiliki oleh seseorang
dapat dipndahkan sebagai respon terhadap stimulus yang baru.
F. Teori Modifikasi Perilaku Kognitif
Meichen baum menyatakan bahwa individu dapat
dajarkan untuk memantau dan mengatur perilakunya sendiri. Cara yang digunakan
yaitu melatih indivdu yang terganggu emosionalnya untuk membuat dan menjawab
pertanyaannya sendiri. Misalnya, anak yang mengalam gangguan emosonal dilatih
untuk mengingat perlaku yang telah ditampilkan dan memperkuat perilakunya
sendiri. Cara belajar ini dapat digunakan untuk membantu siswa memantau
prestasinya sendiri. Misalnya, membaca buku dilatih untuk membuat pertanyaan
dan menjawab sendri, serta merngkas paragraph untuk menguasai bacaan.
Ada lima tahap dalam kegatan belajar mandiri yang
dikembangkan oleh Meichenbaum, yaitu:
1. Model
orang dewasa melakukan tugas tertentu sambil berbicara dengan keras. Kegiatan
ini dsebut modeling kognitif.
2. Anak
melakukan tugas yang sama di bawah arahan pembelajaran dari model. Kegiatan ini
disebut bimbingan eksternal.
3. Anaka
melakukan tugas sambil membelajarkan diri sendri. Kegiatan ini disebut
bimbingan yang dilakukan oleh diri sendiri.
4. Anak
membelajarkan dirinya sendiri dengan cara berbicara pelan-pelan saat
melanjutkan tugas. Kegiatan ini disebut bimbingan yang dilakukan diri sendiri
5. Anak
melakukan tugas untuk mencapai kinerja tertentu dengan melakukan percakapan
diri sendri (pembelajaran diri sendiri)
Teori belajar modifikasi perilaku
kognitif ini menekankan pada modeling percakapan dir isendiri dan secara meningkat berpindahdari perilaku
yang dikendalikan orang lain kepada perilaku yang dikendalikan oleh diri sendiri,
dimana individu menggunakan percakapan diri sendiri pada waktu melaksanakan
tugas.
G.
Teori Belajar Conditioning
Guthire adalah seorang,
behavorisme, yang hidup pada tahun 1886-1959. Ia menyatakan bahwa semua belajar
dapat diterangkan dengan satu prinsip , yaitu prinsip asosiasi. Belajar
merupakan suatu upaya untuk menentukan hukum-hukum, bagaimana stimulus dan
respon itu berasosiasi. Agar dua kejadian dapat dihubungkan sehingga dapat
membentuk asosiasi(dalam otak), maka kedua kejadian itu harus terjadi pada waktu
dan tempat yang kira-kira sama (memiliki keterdekatan), individu akan merespons
stimulus yang datang dari luar, apabila stimulus tersebut memiliki asosiasi
dengan responnya. Ini terjadi karena individu tdak mampu untuk menghadapi
banyak stmulus. Yang datang kepadanya.
Pendapat Guthire yang menyatakan
bahwa respon dapat menimbulkan stmuli untuk respon berikutnya, sangat
populerdikalangan para ahli psikologi belajar. Menurut Guthire, perilaku
manusia merupakan deretan periaku yang terdiri atas unit-unit reaksi atau
respon dari stimulus sebelumnya. Respon pada suatu stimulus tersebut menjadi
stimulus baru dan menimbulkan stimulus baru pada unit perilaku berikutnya.
Dengan kata lain, stimulus memeproleh respons, kemudian respons tersebut menjad
stimulus baru dan memperoleh respons baru, begitu seterusnya. Deretan dari
stimulus respons itu merupakan perwujudan dari unit-unit perilaku. Untuk
memperkuat asosiasi antara unit perilaku satu dengan yang lainnya dperlukan
latihan atau pengulangan, agar tidak terjadi kehilangan mata rantai suatu unit
perilaku dalam deretan perlaku.
Sebagai ilustrasi untuk memperjelas
konsep belajar yang dikemukakan oleh Guthire adalah sebagai berikut. Seorang
ibu merasa kesulitan mengubah perilaku anaknya ketika pulang dari sekolah. Kebiasaan
yang dilakukan oleh anak itu adalah setap pulang sekolah, anak itu selalu
melemparkan tas dan pakaiannya di sudut kamarnya, kemudian ganti pakaian dan
terus makan. Ibu tersebut sudah sering menegurnya, agar tas adan pakaiannya
ditempatkan pada tempat yang sebenarnya. Namun teguran itu hanya ditaati oleh
anaknya dalam satu atau dua hari, dan sesudah tu kebiasaan itu muncul kembali.
Untuk mengubah kebiasaan buruk itu, Guthire memberikan saran sebagai berikut:
teguran yang diberikan Ibu tersebut jangan hanya menyuruh menggantungkan tas
dan pakaiannya kemudian anak itu makan, melainkan anak iyi hatus disuruh
memekai kembali pakaiannya kemballi dan menyandang tas, kemudan disuruh
keluar dari rumah dan masuk kemabali ke
dalam rumah, kemudian diminta untuk menempatkan tas dan pakaiannya di
tempat yang sebenarnya, ganti pakaian,
mencuci tangan, dan dilanjutkan makan.
Dengan demikian, proses pengubahan tingkah laku dilakukan dari proses awal, dan
bukan pada kesalahan yang dilakukan pada unit perilaku tertentu.
Ilustrasi tersebut memberikan gambaran bahwa suatu stimulus
menimbulkan respon tertentu, dan respon itu menjadi stimulus baru yang kemudan
memperoleh respons. Dengan kata lain, unit perilaku masuk rumah (stimulus) diikuti
oleh unit perilaku berikutnya, yakni menempatkan tas dan pakaian di tempat yang
sebenarnya (respon). Penempatan tas danpakaian (stimulus) diikuti oleh respons
berikutnya , yakni ganti pakaian (respons), begitu seterusnya, sehingga terjadi
jalinan mata rantai unit perlaku. Oleh karena itu dalam mengubah perilaku yang
tidak baik harus dilihat dala m rentetan deret unit-unit perilaku, kemudian
diusahakan untuk menghilangkan unit perilaku yang tidak baik.
Pengubahan perilaku buruk yang
terdapat pada diri seseorang dapat dilakukan dengan beberapa cara. Guthri
menyebutkan ada tiga cara (a) metode reaksi berlawnan, (b) metode membosankan
,(c) metode pengubahan lingkungan.
Metode reaksi berlawanan
(incompatible repone method). Manusia merupakan suau organisme yang selalu
merekasi terhadap stimulus tertentu. Apabila suatu respon terhadap stimulus
sudah menjadi kebiasaan , maka cara untuk mengubahnyaadalah dengan jalan
menghubungkan stimulus itu dengan respons yang berlawanan, atau dengan respons
yang buruk yang ingn dihilangkan. Mislanya untuk mengehntikan kebiasaan
merokok.Berikanlah sepuluh batang untuk dihisap sekaligus agar mabok. Cara ini
perlu dilakukan berulang-ulang agar orang itu merasa mau mabok apabila hendak
merokok lagi.
Metode membosankan (exhaustion
method). Dalam metode ini, perilaku yang buruk itu dibiarkan terus sampai orang
yang bersangkutan menjadi bosan dengan sendirinya. Dengan kata lain, asosiasi
antara stimulus dan respons yang buruk itu dibiarkan terus agar terjadi
kepunahandengan sendirinya. Misalnya, untuk mengubah perilaku anak yang suka
membunyikan petasan. Biarkanlah anak itu membunyikan petasan sampai bosan,
sebab kalau sudah bosan anak itu akan berhenti dengan sendirinya.
Metode pengubahan lingkungan
(change of environment method). Metode ini dilakukan dengan cara memutuskan
atau memisahkan hubungan antara stimulus dan respons yang dihilangkan. Aspek
yang diubah yaitu stimulus yang menimbulkan kebiasaan buruk. Misalnya, anak
yang suka menyontek ketika mengikuti ujian di dalam kelas. Anak tersebut harus
dipindahkan tempat duduknya di depan guru pengawas, agar kebiasaan menyontek
tidak terulang lagi.
H. Prinsip-Prinsip Belajar
Salah satu tugas guru adalah
mengajar. Dalam kegiatan mengajar ini tentu saja tidak dapat dilakukan
sembarangan, guru harus menggunakan teori dan prinsip-prinsip belajar agar bisa
bertindak secara tepat.
1. Penguatan
(reinforcement)
Eksperimen
yang dilakukan Skinner dengan menggunakan tikus atau burung merpati, melahirkan
prinsip-prinsip belajar. Sebagai seorang behaviorisme, Skinner menyatakan bahwa,
perilaku akan berubah sesuai dengan konsekuensi yang diperolehnya. Konsekuensi
yang menyenangkan akan memperkuat perilaku dan konsekuensi yang tidak
menyenangkan akan memperlemah perilaku. Dengan kata lain, konsekuensi yang
menyenangkan dapat meningkatkan frekuensi munculnya perilaku, sementara itu
konsekuensi yang tidak menyenangkan akan mengurangi frekuensi perilaku. Apabila
seseorang menyukai buku bacaan, misalnya, maka kemungkinan dia akan sering
membacanya. Sebaliknya, apabila seseorang tidak menyukai sesuatu bacaan, maka
dia tidak akan suka membacanya.
Konsekuensi
yang menyenangkan pada umumnya disebut sebagai penguat (reinforcers), sementara
itu konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut sebagai hukuman (punishers).
Penguatan (reinforcement) merupakan unsur penting di dalam belajar, karena
penguatan itu akan memperkuat perilaku. Menurut Skinner, penguatan itu ada dua
macam, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif.
Penguatan
positif adalah sesuatu bila diperoleh akan meningkatkan probabilitas respons
atau perilaku. Menyampaikan kata “bagus” setelah siswa merespons pertanyaan
tertentu, merupakan reinforcement yang positif. Respons dengan memperoleh
reinforcement positif, respons tersebut ada kecenderungan untuk diulangi.
Reinforcement
positif dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a.
Reinforcement positif
primer, yakni rainforcement positif yang alami, misalnya makanan.
b.
Reinforcement positif
sekunder, stimuli yang berhubungan dengan reinforcement positif primer,
misalnya uang. Dalam hal ini uang dapat digunakan untuk memperoleh makanan.
Penguatan negatif adalah sesuatu
yang apabila ditiadakan dalam akan meningkatkan probabilitas respons. Dengan
kata lain, reinforcement negatif itu sebenarnya adalah merupakan hukuman
(punishent). Penguatan negatif dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a. Reinforcement
negatif primer, yakni penguatan yang alami, misalnya aliran listrik bagi subjek
coba.
b. Reinforcement
negatif sekunder, yakni stimuli yang berkaitan dengan reinforcement negatif
primer, misalnya nyala lampu (karena sebelum dikenai kejutan listrik, diberi
lampu dahulu)
2. Hukuman
(punishment)
Konsekuensi
yang tidak memperkuat (dalam arti memperlemah) perilaku disebut hukuman.
Hukuman dimaksutkan untuk memperlemah atau meniadakan perilaku tertentu dengan
cara menggunakan kegiatan yang tidak diinginkan. Dalam kegiatan belajar,
pemerian hadiah lebih efektif dalam mengubah perilaku seseorang daripada
hukuman. Oleh karena itu memberikab hukuman untuk memperlemah perilaku
hendaknya diterapkan secara bijak.
Hukuman
yang diberikan guru sebetulnya tidak akan menghilangkan perilaku, karena
hukuman hanya dapat melatih seseorang berbuat tentang apa yang tidak boleh
dilakukan, dan tidak melatih seseorang tentang apa yang harus dilakukan.
Hukuman dapat menyebabkan seseorang mengaitkan hukuman dengan orang yang
menghukum, bukan dengan pelakunya. Banyak orang tua, guru atau hakim memiliki
pandangan yang salah tentang hukuman.
Skinner
menyatakan bahwa hadiah (reward) lebih efektif daripada hukuman (punishment).
Misalnya, guru mempersilakan muridnya membaca pekerjaan rumahnya yang dinilai
bagus. Sebagai hadiah untuk pekerjaan rumah yang bagus, siswa itu akan
membacakan karangannya untuk kamu semua, “dengar betapa pintarnya dia” kata
guru. Kata-kata guru ini merupakan hadiah bagi anak. Sementara itu hukauman
dapat menimbulkan efek yang berlawanan. Misalnya, dengan ketusnya guru
mengatakan kepada siswanya yang bandel di kelasnya, “Jimmi, hentikan itu dan
kerjakan tugasmu”. Ucapan guru ini merupakan hukuman bagi anak.
3. Kesegeraan
Pemberian Penguatan
Penguatan
yang diberikan segera setelah perilaku
muncul, akan menimbulkan efek terhadap perilaku yang jauh lebih baik,
dibandingkan dengan pemberian penguatan yang diulur-ulur waktunya. Misalnya,
anak begitu selesai memenangkan perlombaan kemudian langsung diberikan hadiah
dan naik ke atas panggung kemenangan, efeknya akan lebih baik dibandingkan
apabila hadiah itu diberikan pada beberapa hari kemudian. Kedekatan pemberian
penguatan ini merupakan bentuk balikan segera yang dapat menimbulkan kepuasan
kepada setiap orang setelah berhasil melaksanakan tugas.
Balikan
segera yang diberikan kepada seseorang setidak-tidaknya memiliki dua tujuan,
yaitu : (a)dapat membuat kejelasan hubungan antara perilaku dengan konsekuensi,
dan (b)dapat meningkatkan nilai informasi tehadap balikan itu sendiri. Dalam
pelajaran menulis karangan bebas, misalnya, siswa yang memperoleh balikan yang
benar akan meningkatkan motivasinya dalam menyelesaikan tulisan, dan segera
memperbaiki tulisannya yang dianggap kurang benar.
4. Jadual
Pemberian Penguatan (schedule of reinforcement)
Penguatan
dapat diberikan secara terus-menerus atau berantara. Jika setiap respons
diikuti dengan penguatan, maka tindakan ini dinamakan pemberian penguatan
secara terus-menerus. Sebaliknya, jika sebagian respons yang mendapatkan
penguatan, maka tindakan ini dinamakan pemberian penguatan secara berantara
(intermittent reinforcement). Bagian respons yang diperkuat melalui penguatan
berantara itu dapat didasarkan pada sejumlah respons yang dibuat oleh
seseorang. Dalam peristiwa itu, jadual pemberian penuatan dinamakan jadual
pemberian penguatan perbandingan (ratio schedule), dimana penguatan diberikan
kepada salah satu diantara sejumlah respons yang diinginkan. Dengan demikian,
guru dapat memberikan penguatan pada setiap respons, atau pada respons kedua,
kelima, kesepuluh, dan seterusnya. Penguatan berantara dapat diberikan dengan
menggunakan jarak waktu (time interval) antar penguatan secara bervariasi.
Dalam hal ini guru menggunakan jadual jarak waktu (interval schedule) dalam
memberikan penguatan. Misalnya, guru memperkuat respons yang dilakukan oleh
siswa setelah melewati jarak waktu satu menit, atau dua menit, atau sepuluh
menit, sejak penguatan yang diberikan sebelumnya.
Variasi
lain dari jadual pemberian penguatan yang dilakukan oleh guru dapat berbentuk
perbandingan tetap (fixed-ratio) atau perbandingan berubah (variabel ratio),
dan jarak waktu tetap (fixed-interval) atau jarak waktu berubah
(variabel-interval). Variasi jadual pemberian penguatan itu memiliki efek
terhadap kecepatan respons, jumlah respons setiap pemberian penguatan, jumlah
respons yang dibuat setelah penguatan dihentikan, dan sebagainya. Berikut
disajikan secara ringkas masing-masing variasi pemberian penguatan.
5. Peranan
Stimulus Terhadap Perilaku
Penguatan
yang diberikan setelah munculnya suatu perilaku sangat berpengaruh terhadap
perilaku. Demikian pula stimulus yang mendahului perilaku, disebut juga
anteseden perilaku, memegang peranan penting. Ada beberapa stimulus yang
mempengaruhi perilaku, yaitu : petunjuk, diskriminasi dan generalisasi.
a. Petunjuk
Petunjuk
dinamakan stimulus anteseden karena akan memberikan informasi kepada setiap
orang mengenai perilaku apa yang akan memperoleh hadiah dan perilaku apa yang
akan mendapatkan hukuman. Petunjuk ini bentuknya beraneka ragam dan memberikan
pemahaman kepada setiap orang mengenai kapan harus mengubah perilakunya, dan
kapan tidak harus mengubah perilaku. Misalnya, guru olah raga meminta semua
siswa untuk lari keliling lapangan sebanyak lima kali dalam waktu 20 menit.
Anak yang tidak mampu memenuhi target yang diharapkan, dia akan memperoleh
hukuman, sedangkan yang mampu memenuhi target akan diberikan hadiah.
Kemampuan
berperilaku dengan cara lain dalam menghadapi stimulus tertentu, dan
berperilaku dengan cara lain dalam menghadapi stimulus lain disebut
diskriminasi stimulus.
b. Diskriminasi
Setiap individu
telah belajar membedakan tentang kapan sebaiknya mengajukan pertanyaan, dan
kapan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. Diskriminasi dilakukan
dengan cara menggunakan petunjuk, tanda, atau informasi untuk mengetahui kapan
suatu perilaku akan memperoleh penguatan.
Agar siswa dapat
belajar diskriminasi tentang perilaku, mereka harus memperoleh balikan atas
respon yang benar dan salah.
c. Generalisasi
Generalisasi
pada setiap orang tidak dapat berlangsung begitu saja. Biasanya, apabila
program manajemen perilaku berhasil diperkenalkan di lingkungan tertentu,
perilaku seseorang itu tidak secara otomatis akan menjadi baik dilingkungan
yang lain. Setiap orang, dan juga siswa, belajarmendiskriminasikan perilaku
diberbagai lingkungan. Agar generalisasi itu terjadi pada diri individu, maka
generalisasi itu harus direncanakan. Program manajemen perilaku yang berhasil
digunakan di dalam pelajaran PPKn, misalnya, dapat dialihkan kepada pelajaran
lain seperti IPS agar terjadi proses generalisasi perilaku. Proses pengalihan
perilaku ini diharapkan siswa daoat melaksanakan tugas belajar di berbagai
situasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
konsep behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat
diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Teori
belajar behavioristik sangat menekankan perilaku atautingkah laku yang dapat diamati.
Teori-teori dalam rumpun-rumpun ini sangat bersifat molecular, karena memandang
kehidupan individu terdiri atas unsure-unsur seperti halnya molekul-molekul
Ciri
dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat
mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,
mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah
munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R
psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau
reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar
terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya.
Guru yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku siswa merupakan
reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar.
Penerapan
teori behavioristik adalah dengan pemberian bahan pembelajaran dalam bentuk
utuh kepada peserta didik, hasil belajar segera disampaikan kepada peserta
didik, proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar, dan materi
pelajaran digunakan system modul. Selain itu, setiap teori yang dikemukakan
oleh tokoh behavioristik juga memiliki aplikasi sendri dalam pembelajaran.
Aplikasi dari teor Pavlov adalah pada awal tatap muka antara guru dan murid
dalam kegiatan belajar mengajar, seorang guru menunjukkan sikap yang ramah dan
member pujian terhadap murid-muridnya, sehingga para murid akan merasa terkesan
dengan sikap yang ditunjukkan oleh gurunya.
B. Saran
Kita
sebagai colon guru hendaknya mengerti dan benar-benar paham mengenai asesmen,
karena asesmen akan sangat bermanfaat saat kita bekerja nanti. Mengingat masa depan
yang akan kita hadapi tentu akan berbeda dengan masa yang sedang kita jalani
sekarang ini, maka dengan mengetahui asesmen ini, kita bisa mengevaluasi cara
kerja kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i RC,
Achmad. dan Catharina Tri Anni. 2010. Psikologi
Pendidikan. Semarang : UNNES Press.
Poerwanti,
Endang, dkk. 2008. Asesmen Pembelajaran
SD. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.